Latar Belakang
Sepanjang sejarah, kegiatan bisnis tidak pernah luput dari sorotan etika, bahkan akhir-ahir ini semakin banyak perbincangan hangat tentang pentingnya etika bisnis. Memasuki era pasar bebas, untuk memenangkan kompetisi dan memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya perusahaan sering melakukan pelanggaran etika bahkan melakukan pelanggaran terhadap peraturan-peraturan hukum yang berlaku.
Dalam perkembangannya, bisnis tidak lagi hanya berorientasi pada produk dan konsumen, tetapi mulai berkembang pada kompetisi atau persaingan. Etika bisnis tidak lagi diperhatikan oleh pelaku usaha, hal ini menyebabkan pelaku usaha sering melakukan praktek-praktek bisnis yang tidak etis. Salah satu bentuk praktek bisnis yang tidak etis adalah praktek monopoli.
Terkait praktek monopoli, terjadi tarik menarik pendapat antara para ahli ekonomi dan ahli hukum dalam menilai boleh atau tidaknya praktek monopoli. Salah satu contoh kasus monopoli yang terjadi di Indonesia adalah kasus monopoli siaran Liga Inggris yang dilakukan oleh Astro Group. Monopoli siaran Liga Inggris yang dilakukan oleh Astro Group telah menciptakan kesenjangan sosial pada masyarakat Indonesia, karena hanya sebagian masyarakat yang mampu berlangganan Astro TV saja yang dapat menikmati siaran Liga Inggris. Menurut pendapat sebagaian besar masyarakat Indonesia, siaran Liga Inggris merupakan siaran paling kompetitif dan aktraktif di dunia. Hal ini tentu saja menciptakan kecemburuan sosial bagi penggemar yang tidak mampu berlangganan Astro TV, karena mereka hanya bisa membaca atau mendengar cuplikan beritanya.
Dalam kasus monopoli siaran Liga Inggris yang dilakukan oleh Astro Group, konsumen sangat dirugikan dengan tarif berlangganan yang tinggi. Selain itu, lembaga penyiaran pesaing Astro TV juga kehilangan salah satu acara unggulan yang diminati oleh penonton, sehingga mereka mengalami kerugian karena mereka kehilangan pelanggan. Tindakan Astro Group ini tentu saja merupakan salah satu bentuk persaingan usaha tidak sehat.
Untuk mencegah dan menyelesaikan kasus-kasus yang merugikan konsumen maupun perusahaan pesaing sebagaimana yang terjadi pada kasus monopoli siaran Liga Inggris oleh Astro Group, maka pelaku usaha perlu menyadari bahwa selain aspek ekonomi, pelaku usaha juga perlu memperhatikan aspek moral dan aspek legal dalam melakukan usaha bisnisnya. Berdasarkan uraian diatas, maka Penulis sangat tertarik untuk mengkaji praktek monopoli siaran Liga Inggris yang dilakukan oleh Astro Group dalam perspektif etika bisnis.
Tinjauan Teori
Kata “monopoli” berasal dari bahasa Yunani yang berarti “penjual tunggal” (Munir Fuady,1999:4). Tindakan monopoli dapat diartikan sebagai suatu keistimewaan atau keuntungan khusus yang diberikan kepada seseorang atau beberapa orang atau perusahaan, yang merupakan hak atau kekuasaan yang eksklusif untuk menjalankan bisnis atau perdagangan tertentu, atau memproduksi barang-barang khusus, atau mengontrol penjualan terhadap seluruh suplai barang tertentu (Munir Fuady,1999:7). Dalam hukum Inggris kuno, monopoli diartikan sebagai suatu izin atau keistimewaan yang dibenarkan oleh raja untuk membeli, menjual, membuat, mengerjakan atau menggunakan apapun secara keseluruhan, tindakan monopoli tersebut secara umum dapat mengekang kebebasan berproduksi atau trading (Munir Fuady,1999:7).
Dalam Ketentuan Umum UU No. 5 Tahun 1999, yang dimaksud dengan monopoli adalah : “penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan atas jasa tertentu oleh setiap pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha”. Dalam Black’s Law Dictionary, yang dimaksud dengan monopoli adalah: “a privilege or peculiar advantage vested in one or more person or companies, consisting in the exclusive right (or power) to carry on a particular bussines or trade, manufacture a particular article, or control the sale of the whole supply of a particular commodity”
Dalam Black’s Law dictionary dikatakan “Monopoly as probibited by Section 2 of the Sherman Antitrust Act, has two element :
1. Possesion of monopoly power in relevant market
2. Willful acquisition or maintenance of that power
Dalam hal ini jelas bahwa monopoli yang dilarang oleh section 2 Sherman Act adalah monopoli yang bertujuan untuk menghilangkan kemampuan untuk melakukan persaingan, dan atau tetap untuk mempertahankannya. (Widjaja,2002:13)
Sedangkan yang dimaksud dengan praktek monopoli, dalam Ketentuan Umum UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah : “pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum”
Dari pengertian praktek monopoli tersebut, dapat diuraikan bahwa unsur-unsur dari praktek monopoli adalah (Asril Sitompul,1999 : 25):
1. Terjadinya pemusatan kekuatan ekonomi pada satu atau lebih pelaku usaha
2. Adanya penguasaan atas produksi atau pemasaran barang dan atau jasa tertentu
3. Terjadi persaingan usaha yang tidak sehat
4. Tindakan tersebut merugikan kepentingan umum
Dalam Ketentuan Umum UU No. 5 Tahun 1999 yang dimaksud dengan Pemusatan kekuatan ekonomi adalah : “penguasaan yang nyata atas suatu pasar barang dan jasa tertentu oleh satu atau lebih pelaku usaha yang dengan penguasaan itu pelaku usaha tersebut dapat menentukan harga barang atau jasa” Sedangkan yang dimaksud dengan persaingan usaha tidak sehat sebagaimana dijelaskan dalam Ketentuan Umum UU No. 5 Tahun 1999 adalah : “persaingan yang terjadi diantara pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan atau pemasaran barang atau jasa dilakukan dengan cara yang tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.”
Dari kedua pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa selama suatu pemusatan kekuatan ekonomi tidak menyebabkan terjadinya persaingan usaha yang tidak sehat (sebagaimana di definisikan undang-undang), maka hal itu tidak dapat dikatakan telah terjadi prakek monopoli, yang melanggar dan bertentangan dengan undang-undang ini, meskipun secaranya nyata telah terjadi penguasaan produksi atau pemasaran barang dan jasa tertentu. Hal ini menjelaskan bahwa monopoli tidak dilarang, yang dilarang adalah praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (Widjaja,2002:18). Jadi dapat disimpulkan bahwa monopoli yang terjadi karena keunggulan produk, atau perencanaan dan pengelolaan bisnis yang baik, dan dilakukan melalui persaingan jangka panjang sehingga membuat perusahaan menjadi kuat, besar, dan menguasai pangsa pasar yang besar, tentu bukan merupakan praktek monopoli.
Menurut Adam Smith, sistem monopoli tidak baik dalam perekonomian karena dengan sistem monopoli, konsumen dipaksa harus membayar harga yang lebih tinggi dari yang sebenarnya, oleh karena itu sistem monopoli merupakan sistem yang tidak adil (Asril Sitompul,1999:7) sedangkan menurut Sullivian E Thomas, Monopoly is the evil we wish to control. Competition is the thing we wish to maintain (Munir Fuady, 1999;19)
Sebagaimana dijelaskan dalam latar belakang masalah, terjadi tarik menarik pendapat antara para ahli hukum dan ahli ekonomi tentang boleh atau tidaknya praktek monopoli. Tarik menarik pendapat tersebut akhirnya menimbulkan beberapa pendekatan terhadap hukum anti monopoli, yaitu (Munir Fuady, 1999;19):
- Pendekatan legal dogmatis
- Pendekatan economic oriented
- Pendekatan multi disipliner
Dari segi ekonomi, praktek monopoli merupakan suatu cara yang dapat ditempuh untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Dalam masyarakat acap kali ada anggapan bahwa bisnis tidak mempunyai hubungan dengan etika atau moralitas, Richard De Groge menyebut pandangan ini sebagai “the myth of amoral bussines” (K. Bartens, 2003;376). Dalam hal ini muncul pandangan bahwa bisnis tidak dapat dinilai dengan etika karena tujuan utama dari bisnis adalah untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Untuk memenangkan persaingan, pelaku bisnis akan menempuh berbagai cara untuk memanfaatkan peluang agar memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya.
Dalam kenyataannya, pandangan the myth of amoral bussines tidaklah benar, karena dalam bisnis yang dipertaruhkan bukan hanya profit, tetapi juga nama baik perusahaan serta nasib masyarakat sebagai konsumen. Perilaku bisnis berdasarkan etika perlu diterapkan sebagai rambu-rambu untuk menciptakan bisnis yang baik. Doug Lennick dan Fred Kiel, dalam bukunya yang berjudul Moral Intelligence, berargumen bahwa perusahaan-perusahaan yang memiliki pemimpin yang menerapkan standar etika dan moral yang tinggi terbukti lebih sukses dalam jangka panjang. Hal yang sama juga dikemukakan miliuner John M Huntsman, dalam buku Winners Never Cheat, menyatakan bahwa kunci utama kesuksesan adalah reputasinya sebagai pengusaha yang memegang teguh integritas dan kepercayaan pihak lain.
Menurut Kamus Inggris Indonesia oleh Echols and Shadily (1992: 219), Moral = moral, akhlak, susila (su=baik, sila=dasar, susila=dasar-dasar kebaikan); Moralitas = kesusilaan; sedangkan Etik (Ethics) = etika, tata susila. Jadi kata moral dan etika yang penggunaannya sering dipertukarkan dan disinonimkan, sebenarnya memiliki makna dan arti berbeda. Moral dilandasi oleh etika, sehingga orang yang memiliki moral pasti dilandasi oleh etika.
Etika adalah suatu cabang dari filosofi yang berkaitan dengan ”kebaikan (rightness)” atau moralitas (kesusilaan) dari kelakuan manusia. Etika sebagai refleksi adalah pemikiran moral. Sejak akhir tahun 1960-an teori etika mulai membuka diri dengan berbagai topik yang kongkret dan aktual, perkembangan baru inilah yang disebut dengan etika terapan (applied ethics) (Bertens, 2003;35). Salah satu bidang etika terapan yang cukup banyak diminati adalah etika bisnis.
Secara etimologi, bisnis dapat diartikan sebagai kegiatan ekonomis. Bisnis dapat dilukiskan sebagai kegiatan ekonomis yang terstruktur dan teroganisir untuk menghasilkan laba. Sejak bisnis ada, bisnis selalu dikaitkan dengan etika. Namun etika bisnis dalam arti specific baru menjadi bidang tersendiri, yaitu termasuk dalam bidang intelektual dan akademis sejak tahun 1970-an. Secara sederhana etika bisnis dapat diartikan sebagai suatu aturan main yang tidak mengikat karena bukan hukum. Tetapi harus diingat dalam praktek bisnis sehari-hari etika bisnis dapat menjadi batasan bagi aktivitas bisnis yang dijalankan. Etika bisnis sangat penting mengingat dunia usaha tidak lepas dari elemen-elemen lainnya. Keberadaan usaha pada hakikatnya adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Bisnis tidak hanya mempunyai hubungan dengan orang-orang maupun badan hukum sebagai pemasok, pembeli, penyalur, pemakai dan pihak-pihak terkait lainnya.
Dari sudut pandang ekonomi, bisnis adalah baik, apabila menghasilkan laba. Sedangkan menurut sudut pandang hukum, bisnis adalah baik, apabila sesuai dengan peraturan dan sistem hukum yang berlaku. Dari sudut pandang moral, bisnis dapat dikatakan baik, apabila memenuhi 3 macam tolok ukur, yaitu (Bertens, 2003;28):
1. Hati nurani, suatu perbuatan adalah baik, jika dilakukan sesuai dengan hati nurani, dan suatu perbuatan buruk jika dilakukan bertentangan dengan hati nurani. Apabila seseorang melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan hati nuraninya, maka orang tersebut telah menghancurkan integritas pribadi, karena Ia telah menyimpang dari keyakinannya yang terdalam.
2. Kaidah emas, yaitu kaidah yang dapat digunakan untuk menilai baik atau buruknya perilaku moral seseorang. Kaidah emas berbunyi “Hendaklah memperlakukan orang lain sebagaimana Anda sendiri ingin diperlakukan”.
3. Penilaian umum, yaitu cara yang digunakan untuk menentukan baik dan buruknya suatu perbuatan atau perilaku dengan cara menyerahkan penilaian kepada masyarakat umum. Cara ini disebut juga dengan audit sosial. Cara ini dianggap sebagai cara paling efektif untuk menilai baik atau buruknya perbuatan seseorang.
Selain ketiga macam tolok ukur bisnis yang baik menurut sudut pandang ekonomi, hukum dan moral yang telah diuraikan diatas, untuk mengetahui baik atau buruk tindakan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang, termasuk dalam bidang bisnis, telah berkembang beberapa teori penting dalam pemikiran moral, teori-teori tersebut adalah:
- Teori Ethical Egoism, teori ini hanya melihat terhadap si pelaku sendiri. Teori ini mengajarkan bahwa benar atau salah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang diukur dari dampak baik atau buruk yang ditimbulkan oleh perbuatan terhadap orang itu sendiri (Munir Fuady, 1999;19).
- Teori Ethical Altuirsm, teori ini lebih menitikberatkan pada kepentingan dari pihak yang melakukan suatu perbuatan. Menurut teori ini, seseorang telah melakukan suatu perbuatan yang secara moral terbilang benar atau salah tergantung dari dampak perbuatan tersebut bagi pihak lain (Munir Fuady;1999:20).
- Teori Utilitarisme, dalam bahasa latin “utilitarisme” berarti bermanfaat. Menurut teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tetapi manfaat itu harus dirasakan oleh masyarakat keseluruhan bukan hanya untuk satu atau dua orang saja. Jadi utilitarisme tidak boleh dimengerti dengan cara egoistis. Dalam utilitarisme terdapat rumusan terkenal guna menentukan kriteria baik atau buruknya suatu perbuatan, yaitu “the greatest happines of the greatest number” (K. Bartens, 2003;66). Pada perkembangannya utilitarisme berkembang menjadi teori konskwensialisme, karena dalam teori utilitarisme konskwensi sangat dipentingkan. Selain itu, utilitarisme juga sering disebut dengan teori teleologis, karena menurut teori ini kualitas etis suatu perbuatan diperoleh dengan dicapainya tujuan tersebut. Teori teleological dianut oleh pengikut utilitarianisme, yaitu Jeremy Bentham (1748-1832) dan John Stuart Mill (1806-1973). Dalam analisis teleological terdapat juga pandangan filsuf kontemporer John Rawls “veil of ignorance”, yang didasarkan kepada prinsip distributive justice.
- Teori Deontologi, istilah “deontologi” berasal dari bahasa Yunani yang berarti kewajiban. Teori ini melihat bahwa yang menjadi dasar baik atau buruknya suatu perbuatan adalah kewajiban. Konsep teori etika deontologi mengemukakan bahwa kewajiban manusia untuk bertindak secara baik, karena suatu tindakan bukan dinilai dan dibenarkan berdasarkan akibat atau tujuan baik dari tindakan tersebut, melainkan berdasarkan tindakan itu sendiri sebagai baik pada dirinya sendiri dan harus bernilai moral karena berdasarkan kewajiban yang memang harus dilaksanakan terlepas dari tujuan atau akibat dari tindakan itu. Etika deontologi sangat menekankan motivasi, kemauan baik dan watak yang baik dari pelaku. Teori deontology merupakan pandangan yang berbasis pada proses pengambilan keputusan dalam menentukan suatu perbuatan. Pemukanya di antaranya adalah filsuf Jerman Immanuel Kant (1724-1804)
- Teori Hak, dalam pemikiran moral dewasa ini, teori hak merupakan pendekatan yang paling banyak digunakan untuk mengevaluasi baik atau buruknya suatu perbuatan atau perilaku. Teori hak merupakan suatu aspek dari teori deontologi, karena pada hakikatnya hak selalu berkaitan dengan kewajiban. Pendekatan ini dirumuskan oleh John Rawls, seorang pendukung teori Landasan Hak, yang penelitiannya diarahkan kepada eksplorasi konsep keadilan. Namun demikian, hasil karyanya sendiri bersandar kepada penggunaan analisis etika dan sudah diterapkan secara luas sebagai alat dalam pendidikan etika bisnis. Rawls mengarahkan kepada suatu test hipotesa mental yang dapat digunakan untuk menentukan apa yang dinamakan “adil.” Ketika diminta untuk memberikan keputusan yang mempunyai dimensi etika, langkah pertama yang harus diambil adalah menuju ke balik “veil of ignorance” (tirai pengabaian). Dengan melakukan hal itu, maka orang akan mengetahui bukan saja statusnya, tetapi juga akan tahu bagaimana akibat dari suatu keputusan akan membawa dampak kepada dirinya secara pribadi.
- Teori keutamaan, teori keutamaaan adalah teori yang memandang sikap atau ahlak seseorang. Teori keutamaan sebagaian besar mengadobsi pemikiran Filusuf Yunani, Aristoteles. Keutamaan dapat didefinisikan sebagai disposisi watak yang telah diperoleh seseorang, dan memungkinkan Ia bertingkah laku baik secara moral. Dalam etika bisnis teori keutamaan belum banyak dimanfaatkan. Beberapa keutamaan yang seharusnya dimiliki oleh seorang pebisnis adalah kejujuran, fairness, kepercayaan, dan keuletan. Jadi untuk menentukan baik atau buruknya tindakan seorang pebisnis, dapat dilihat dari ahlak dan bagaimana Ia bersikap dalam menjalankan bisnisnya.
Analisis
Kasus Monopoli Liga Inggris yang dilakukan oleh Astro Group sebenarnya telah menjadi perhatian publik sejak dilaporkannya PT Direct Vision, Astro All Asia Networks., Plc, ESPN STAR Sports, dan ALL Asia Multimedia Network, oleh Indovision, Telkomvision, dan IndosatM2, serta beberapa kelompok masyarakat terhadap dugaan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat kepada KPPU.
Pada awalnya, Liga Inggris disiarkan melalui Free to Air (FTA) TV pada tahun 1991. Pada musim 2004-2007 selain disiarkan melalui FTA TV, Liga Inggris juga disiarkan melalui seluruh televisi berbayar yang ada di Indonesia. Untuk musim 2007-2010, siaran Liga Inggris secara eksklusif ditayangkan pada televisi berbayar Astro yang berpusat di Malaysia. All Asia Multimedia Networks, merupakan anak perusahaan Astro All Asia Networks, Plc yang memegang lisensi penyiaran Liga Inggris di kawasan Asia. Astro All Asia Networks, Plc bisa menayangkan Liga Inggris di Indonesia hanya jika menggandeng investor lokal. Oleh karena itu, All Asia Multimedia Networks menggandeng PT Ayunda Prima untuk membentuk PT Direct Vision. PT Ayunda Prima Mitra adalah sebuah perusahaan yang seluruh sahamnya dikuasai oleh PT First Media, sebuah perusahaan yang terafiliasi dengan Grup Lippo.
Dalam kasus dugaan praktek monopoli tersebut, Majelis Pemeriksa pada tanggal 28 Agustus 2008, memutuskan bahwa dugaan praktek monopoli siaran Liga Inggris yang dilakukan oleh Astro Group tidaklah terbukti. Dalam putusannya, KPPU menyatakan Astro All Asia Networks, Plc, All Asia Multimedia Networks, dan PT Direct Vision tidak menggunakan kekuatan monopolinya di Malaysia guna menekan ESPN STAR Sports (ESS) untuk menyerahkan hak siar Liga Inggris wilayah Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan tidak ditemukannya bukti-bukti yang menunjukkan penggunaan kekuatan monopoli oleh Astro Group, baik selama proses negosiasi antara Astro Group dengan ESS maupun dari perbandingan nilai pembelian hak siar Liga Inggris untuk wilayah Malaysia dan wilayah Indonesia.
Selama perkara itu bergulir di KPPU, Astro mengambil langkah mengejutkan dengan memutuskan hubungan dengan PT Direct Vision, dan beralih kepada Aora TV. Langkah itu memicu reaksi PT Direct Vision karena perusahaan yang sebagian dimiliki oleh Grup Lippo itu terancam kehilangan pangsa pasar penikmat Liga Inggris.
Kasus dugaan monopoli siaran Liga Inggris oleh Astro Group kembali menjadi perhatian publik, setelah M. Iqbal (salah satu anggota tim sidang Mejelis perkara Astro Group) tertangkap tangan oleh KPK sedang menerima uang sebesar Rp. 500.000.000,- dari pengusaha yang bernama Billy Sundoro, seseorang yang diduga terkait dan memiliki hubungan baik dengan Grup Lippo yang menjadi salah satu sumber dana PT Direct Vision.
Berdasarkan kronologi kasus praktek monopoli yang dilakukan oleh Astro Group, maka dapat disimpulkan bahwa monopoli yang dilakukan oleh Astro Group adalah monopoli yang sengaja dilakukan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya. Monopoli Liga Inggris tersebut diperoleh dengan cara yang tidak etis, yaitu dengan melakukan persaingan usaha tidak sehat. Monopoli siaran Liga Inggris yang dilakukan Astro group bertentangan dengan UU No. 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan persaingan Usaha tidak Sehat. Astro Group dengan berbagai cara mencari dan memanfaatkan kesempatan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan memiliki hak eksklusif siaran Liga Inggris.
Dari sudut pandang ekonomi, bisnis Astro Group adalah baik, karena telah mendatangkan laba yang sebesar-besarnya, namun dari sudut pandang hukum, tindakan Astro Group tidak dapat dibenarkan karena tindakan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum. dilihat dari sudut pandang moral dan etika, perbuatan Astro Group juga termasuk dalam perbuatan bisnis yang tidak etis.
Berdasarkan penilaian umum, masyarakat sudah dapat menilai praktek monopoli yang dilakukan oleh Astro Group merupakan perbuatan yang tidak baik dan merugikan banyak orang. Menurut teori Ethical Altuirsm, tindakan Astro Group secara moral merupakan tindakan yang tidak benar. Tindakan Astro group berdampak negatif terhadap masyarakat sebagai konsumen karena mereka harus membayar harga yang jauh lebih mahal untuk menonton siaran Liga Inggris, sedangkan dampak negatif bagi lembaga penyiaran pesaing Astro TV adalah munculnya hambatan untuk masuk pada pasar yang bersangkutan (bariers to entry), sehingga dapat disimpulkan dalam hal ini Astro Group telah melakukan persaingan usaha yang tidak sehat.
Menurut teori Utilitarisme, tindakan Astro Group juga dapat dikategorikan perbuatan yang tidak benar, karena tindakan Astro Group tidak memberikan manfaat bagi masyarakat banyak. Tindakan Astro Group justru telah menghilangkan kebahagian banyak orang. Berdasarkan teori Deontologi, tindakan Astro group juga merupakan perbuatan yang salah, karena Astro Group tidak melakukan kewajibannya untuk berbinis dengan cara baik dan fair, sehingga dengan tindakan yang tidak fair tersebut, Astro Group telah merugikan banyak pihak.
Menurut teori Hak, tindakan Astro Group dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang salah karena, dalam mengambil keputusan untuk melakukan praktek monopoli, Astro Group tidak mempertimbangkan hak-hak orang lain. Astro Group telah melanggar hak konsumen untuk mendapatkan layanan terbaik dengan harga yang terjangkau, selain itu Astro Group telah melanggar hak pesaing untuk ikut berkompetisi dalam menyiarkan siaran Liga Inggris. Sedangkan menurut teori keutamaan, tindakan Astro Group juga merupakan perbuatan yang salah karena Astro Group tidak mengunakan akhlak dan sikap yang baik dalam menjalankan bisnisnya.
Berdasarkan analisis dari berbagai teori etika diatas, dapat dilihat bahwa dari sudut pandang hukum maupun dari sudut pandang etika, Astro Group telah melakukan perbuatan yang tidak dapat dibenarkan. Astro Group dengan berbagai cara memanfaatkan kesempatan untuk memperoleh market power untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa, secara normatif, Astro Group telah melakukan perbuatan yang melanggar hukum, dan dari sudut pandang etika, Astro Group juga telah melakukan bisnis yang tidak etis. Dalam menjalankan bisnisnya, Astro Group hanya mementingkan profit, sehingga Astro Group tidak menggunakan etika dalam berbisis.
0 komentar:
Posting Komentar